Sejarah
Kota Madiun Dipelajari dari sisa-sisa peninggalan sejarah, baik berupa
barang-barang dan lembaga ataupun adat istiadat, maka terdapatnya desa-desa
bekas perdikan (yang kini sudah dijadikan Desa biasa/Kelurahan), ternyata erat
hubungannya dengan peristiwa-peristiwa kepahlawanan pada abad-abad ke XVII dan
XVIII.
"
Pada
Abad ke XVII Daerah Sawo (Ponorogo) bagian dari kekuasaan kerajaan Yogyakarta (
oleh Yogya dikenal sebagai kukuban ing sak wetane Gunung Lawu ) ada usaha untuk
memisahkan diri (mbalelo) dari induknya ialah kerajaan Yogyakarta, kemudian
oleh Sultan Yogyakarta pada waktu itu dikirmkan penumpas pemberontakan yang
dipimpim oleh Ronggo. Setelah berhasil menumpas pemberontakan tersebut, maka
untuk pusat pemerintahan pada saat itu dipilihlah "KUTO MIRING" terletak
di Desa Demangan Kecamatan Taman Kotamadya Madiun, untuk didirikan Kabupaten
setelah dirintis pembangunannya kemudian digeser ke utara lagi yaitu ditengah
Kotamadya Madiun sekarang di Komplek Perumahan Dinas Bupati Madiun. Disinilah
seterusnya Ronggo ke I s/d ke III menjalankan pemerintahan, sedangkan makamnya
ada di Desa Taman (dulu Desa Perdikan). Jadi status Desa Perdikan Taman maupun
Kuncen, sebagai wilayah Kerajaan Yogyakarta karena disitu disemayamkan
pahlawan-pahlawan pada zaman lampau, sehingga kepada orang yang dipercaya
menjaga/merawat makam tersebut diberikan hadiah sebagai sumber pencahariannya,
satu wilayah Pedesaan serta hak untuk memungut hasilnya, bersifat Orfelijik
(turun tumurun).
Pada
Abad ke XVII di zaman peperangan Diponegoro, munculah salah seorang putera
Ronggo (Rongggo ke II) yang dikenal dengan nama "Ali Basah Sentot
Prawirodirdjo". Sebelum meletus perang Diponegoro, Madiun belum pernah
dijamah oleh orang-orang Belanda atau Eropa yang lain sehingga, Pemerintah Hindia
Belanda tidak mengenal apa arti politik dan sosial ekonomi yang terdapat di
Madiun, tetapi setelah perang Diponegoro berakhir Madiun menjadi pertahanan
terakhir pasukan Diponegoro mulai dikenal oleh orang-orang Belanda arti politik
dan sosial ekonomi, banyak daerah pertanian diubah menjadi perkebunan.
Pada
tanggal 1 Januari 1832 Madiun secara resmi dikuasai oleh Pemerintah Hindia
belanda dan dibentuklah suatu Tata Pemerintahan yang berstatus
"KARISIDENAN" Ibu Kota Karisidenan berlokasi di Desa Kartoharjo
(tempat Patih Kartohardjo) yang berdekatan dengan Istana Kabupaten Madiun di
Pangongangan. Sejak saat itu mulailah berdatangan bangsa Belanda atau Eropa
yang lain berprofesi dalam bidang perkebunan tebu dengan Pabrik Gulanya seperti
PG. Sentul (Kanigoro), PG. Pagotan (Uteran), PG. Rejoagung (Patihan) milik
orang cina.
Kecuali
itu muncul pula perkebunan teh di Jamus dan Dungus, Kopi di Kandangan, Tembakau
di Pilangkenceng, semua warga negara eropha bermukim "Sejarah
serangan Pedih Gembong Gestapu 48 di Madiun.Kejadian tangisan darah
Oleh masyarakat dikota kami akibat ulah Tokoh Pemuda Muso dan kerabatnya
dari Ponorogo, Dan saat ini, Madiun dijadikan kota "Bebas komunisme dan
politiknya"."Partai tersebut waktu itu
mencari jalan untuk mengitimidasi dan mencari kepercayaaan di depan
para tokoh politik. Para
Gestapu in,i mereka memanfatkan aksinya di kota Madioen tempoe Doloe
bersama golongannya". Sumber Data dari Arif Kamaludin Fotografer" di tengah kota sekitar
istana Residen Madiun, supaya tidak kena pengaruh orang Madiun yang pemeberani
karena bekas kotanya merupakan tempat pusat pertahanan wilayah timur Mataram
(Monconegoro Timur) yang anti belanda. Maka segresi sosial (pemisahan sosial)
harus dilakukan. Dikandung maksud untuk membendung jangkuan pengaruh kaum
pergerakan rakyat indonesia, maka perlu mengubah ketatanegaraan di Madiun yakni
Kota yang berdiri sendiri dimana pemimpimnya tetap bangsa belanda, masyarakat
sebagian besar orang asing. Dan lagi pula kerajaan belanda telah mengeluarkan
Undang-undang yang mengatur daerah perkotaan yang disebut : Inlandsche Gemeente
Ordonantie yang dikeluarkan pada tahun 1906 oleh Departemen Binnenlandsch
Bestuur yang dalam hal itu oleh Menteri S. De Graaf.
Maka
wilayah perkotaan Madiun dipisahkan dari Pemerintah Kabupaten Madiun menjadi
Stadsgemeente Madiun atau Kota Praja Madiun atau Haminte Madiun. Kotapraja
madiun berdiri berdasarkan Peraturan Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 20
Juni 1918 dengan landasan Staatsblad Tahun 1918 Nomor 326, sehingga wilayah itu
dikepalai oleh seorang Burgemeester yang pertama dijabat oleh Ir.M.K. Ingenlijf
semula menjabat asisten residen Madiun (modalnya terdiri dari
12 pedesaan yakni Madiun Lor, Sukosari, Patihan, Oro Oro Ombo, Kartoharjo, Pangongangan, Kejuron, Klegen, Nambangan Lor, Nambangan Kidul, Pandean, Taman) yang administratif berstatus Desa Perdikan dibawah naungan keraton Yogyakarta yang kemudian diganti oleh De Maand hingga tahun 1927.
Sedangkan lembaga dan jabatan Walikota Madiun baru diadakan 10 tahun kemudian dengan
dikeluarkan staatsblad nomor 14 tahun 1928.Pada Zaman Jepang daerah ini menjadi Madiun Shi yang diperintah
oleh seorang Shi Tjo dan mempunyai wilayah 12 Desa, setelah Proklamasi
Kemerdekaan, dengan berlakunya Undang-undang Nomor 22 tahun 1948, maka Madiun
Shi diubah menjadi Kota Besar Madiun dengan wilayah 12 Desa dibawah perintah
Walikota. Kemudian demi pemerataan wilayah berdasar UU Nomor 22 tahun 1948 maka
menurut Surat Keputusan Nomor 16 Tahun 1950 Kotapraja Madiun diperjuangkan
diperluas dengan mendapat tambahan dari Kabupaten Madiun yaitu 8 (delapan) Desa
yakni Demangan, Josenan, Kuncen yang semula berstatus speerti Desa Perdikan
Taman, Banjarejo, Mojorejo, Rejomulyo, Winongo dan Manguharjo. Kemudian dengan
berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1957 sebagai pengganti Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1948, Kota Besar Madiun berubah menjadi Kotapraja Madiun dengan
wilayah 12 desa dan diperintah oleh seorang Walikota, selanjutnya berdasar
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1958 diadakan perubahan batas-batas wilayah
Kotapraja Madiun, kerena mendapat tambahan wilayah sebanyak 8 (delapan) buah
desa dari Kabupaten Madiun, sehingga wilayah Kotapraja Madiun menjadi 20 desa.
Pelaksanaan perubahan batas-batas ini diadakan pada hari Sabtu tanggal 21 Mei
1960 bertempat di Kabupaten Madiun oleh Walikota dan Bupati. Kemudian dengan
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun
1957, Kotapraja Madiun diubah dengan Kotamadya Madiun dengan wilayah 20 desa
dan diperintah oleh Walikota Kepala Daerah.
Ruko Njoyo terletak Dekat Carefours sekarang |
12 pedesaan yakni Madiun Lor, Sukosari, Patihan, Oro Oro Ombo, Kartoharjo, Pangongangan, Kejuron, Klegen, Nambangan Lor, Nambangan Kidul, Pandean, Taman) yang administratif berstatus Desa Perdikan dibawah naungan keraton Yogyakarta yang kemudian diganti oleh De Maand hingga tahun 1927.
Selanjutnya dengan berlakunya Undang-undang Nomor5 Tahun 1974 tentang Pokok-PokokPemerintahan di Daerah, sebagai pengganti UU Nomor 18 tahun
1965, maka Kotamadya Madiun berubah menjadi Kota Madya Tingkat II Madiun,
dengan wilayah 20 desa dan istilah Walikota Kepala Daerah Kotamadya Madiun
diubah menjadi Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Madiun. Dalam Tahun 1979
atas persetujuan DPRD Kotamadya dan Kota Madya Tingkat II Madiun, diusulkan
pemekaran daerah Kotamadya menjadi 27 Desa/Kelurahan. Dimana terhitung mulai
tanggal 18 April 1983 wilayah Kota Madya Tingkat II Madiun yang semula terdiri
dari 1 Kecamatan meliputi 20 Kelurahan dengan luas 22,95 KM2 berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1982 dan Surat Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I Jawa Timur Nomor 135.1/1169/011/1983 tanggal 19 Januari 1983
bertambah menjadi 7 desa yang berasal dari kabupaten Tingkat II madiun yakni
Desa Ngegong, Sogaten, Tawangrejo,Kelun, Pilangbango,Kanigoro dan Manisrejo),
sehingga luas wilayah Kota Madya Tingkat II Madiun menjadi 33,92 KM2 terdiri
dari 3 Kecamatan dengan 20 Kelurahan dan 7 Desa dimana masing-masing kecamatan
terdiri dari 9 Kelurahan/Desa.
Sumber data: wartawan zonamadiun.net (arif kamaludin el salehudin)